amputee-soccer
Sepakbola yang konon katanya ber’cikal-bakal’ dari olahraga Tsu-Chu pada zaman cina dulu tidak dapat kita pungkiri memang merupakan olahraga paling populer saat ini. Olahraga yang mempertandingkan dua tim yang berjumlah masing-masing sebelas orang sudah menjadi olahraga yang digemari mulai dari kalangan presiden sampai penjual duren. Bahkan di Amerika Latin seperti Brasil, dan Argentina sepakbola status telah diposisikan layaknya agama sehingga Maradona-pun telah dianggap sebagai Tuhan bagi sekelompok orang.

Mari kita pikir sejenak tanpa mengikutsertakan hobi kita, mungkin kita – layaknya orang yang tak menyukai sepakbola – kan merasa aneh atau geli melihat 22 orang berlari dengan serius saling berebut satu bola.

Kecuali dua orang yang berada paling belakang, mereka tidak ikut berlari merebutkan bola melainkan cukup menjaga dan mempertahankan gawangnya agar tak kebobolan. Namun lebih anehnya lagi, setelah bola berhasil direbut, bola akan ditendang untuk kemudian diperebutkan lagi. Tidak jarang, meski sudah ada wasit yang dibantu dua hakim garis kedua kubu karena terlalu sengit berebut bola akan saling memukul menendang bahkan menginjak. Dan wasit-pun memberikan peringatan pada pihak yang bersalah dan memberikan bola kepada salah satu tim yang kemudian ditendang lagi.

Sampai pada saat salah satu berhasil memasukkan bola ke gawang musuh, para pemain dan pendukung tim yang mencetak gol akan bersorak-sorak gembira untuk merayakan gol. Setelah itu bola ditaruh ditengah untuk kemudian ditendang lagi.

Sejak dibentuknya Football Association di Inggris yang kemudian diikuti oleh terbentuknya FIFA -federasi yang jumlah anggotanya melebihi jumlah anggota negara pengikut PBB- permainan ini bukan hanya menjadi paling populer bahkan menjadi lebih canggih. Bukan hanya dari segi aturan dan tekhnik permainan, melainkan pengorganisasiannya juga makin canggih apalagi tekhnologi kemajuan bisnis sudah masuk kedalam olahraga ini yang mempengaruhi kehadiran dan perkembangannya.

Seperti biasa dan seperti pada banyak hal, negara-negara maju yang memiliki kelebihan di hampir semua segi kehidupan, peranannya sangat besar bahkan menentukan dalam membawa permainan itu ke derajat ‘terhormat’ dan digilai hampir semua lapisan masyarakat dunia seperti sekarang ini. Jangankan sepak bola, permainan yang berbahaya dan sangat tidak manusiawi pun -paling tidak menurut sebagian kalangan– seperti tinju, di tangan mereka, bisa menjadi olah raga yang dicandui; sudah tentu setelah menjadi tambang emas bagi mereka.

Memang mereka –orang-orang di negeri maju– itu, barangkali karena kelebihan mereka di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ditambah disiplin dan keseriusan mereka, bagi kita di negeri berkembang ini bagaikan tukang sihir saja laiknya. Kebalikan dari kita yang menggarap hal-hal penting seperti main-main saja, mereka bahkan permainan bisa disulap menjadi hal yang sangat serius dan penting. Seperti sepak bola itu misalnya, dengan kelihaian mereka mengemas dan menawarkannya, dunia pun dibuat keranjingan terhadapnya sesuai kemauan mereka. Negara-negara penggandrung sepak bola yang mereka nilai kaya dengan potensi sumberdaya pemain, mereka pacu dan support. Permainan sederhana, amatiran, dan bisa dimainkan dimana saja — dengan pemain berapa saja, dengan pakaian apa saja (bahkan tanpa pakaian sekalipun), dan dengan bola apa saja (dengan bola gombal sekalipun) – itu mereka profesionalkan dan bisniskan dengan cara yang amat canggih. Dan dengan dukungan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, permainan sepak bola pun akhirnya menjadi ‘agenda dunia’ yang penting dan sangat merampas perhatian.

Termasuk kita disini, dimana sepak bola –seperti hal-hal yang lain, hanya sibuk dibicarakan dan dipertengkarkan– pertandingan sepak bola manca negara merupakan ‘acara wajib’ yang ikut mengatur irama dan gaya hidup kita. Pers dengan semangat patriotisme, berlomba-lomba memberitakan dan menayangkan setiap pertandingan. Ulasan dan analisis sepak bola yang ndaqik-ndaqik pun memenuhi media massa. Jadwal pertandingan dan kompetisi mereka –hingga yang bersifat lokal– pun kita catat. Gol-gol terbaik dalam setiap pertandingan, kita bukukan. Nama-nama pemain klub-klub disana – apalagi yang menjadi bintang (umumnya pemain yang paling banyak memasukkan bola ke gawang lawan, pemain yang paling pandai mempertahankan gawang, yang paling lihai membawa atau merebut bola)– kita hafal melebihi nama-nama para pemain klub-klub di tanah air sendiri. Siapa yang tak kenal Pele –konon dari rangkaian kata Portugis, Pe kependekan dari kaki dan le dari malas– alias Edison Arantes do Nascimento dari Brazil yang dijuluki Si Kaki emas dan sejak 7 September 1956 hingga 2 Oktober 1974 memasukkan bola 1216 gol? Siapa tidak kenal Libero Franz Beckenbauer dari Jerman Barat; Johan Cruyff dari Belanda; Diego Maradona dari Argentina; atau dua pemain paling terkenal saat ini, Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi. Bahkan banyak bayi lahir yang dinamai dengan nama-nama seperti Eka Maradona, Mohammad Maldini, Supele, Rosyat Baggio, dll.

Pendek kata, sepak bola sudah menjadi semacam virus yang membuat demam dunia. Lihatlah, betapa pers, termasuk di kita, sudah geger mempersiapkan diri menyambut World Cup Brasil yang masih akan digelar Juni-Juli tahun 2012 mendatang. Rubrik-rubrik sudah diplot; pengulas-pengulas (di negeri ini pengulas sepak bola jauh lebih banyak dan lebih lihai katimbang pemain sepak bola) sudah mulai diincar atau dikontrak; tv-tv sudah mengiklankan jadwal-jadwal pertandingan; dsb. dst.

Itu semua tentu tidak lepas dari kelihaian para pencari materi (duit) yang tahu persis bagaimana memanfaatkan permainan yang menjadi kegemaran hampir semua orang itu. Mereka yang paling lihai, paling kreatif, dan paling serius, akan mendapat keuntungan paling banyak. Karena di zaman ini, sepak bola –sebagaimana banyak permainan yang lain– tidak hanya merupakan olah raga atau apalagi permainan pengisi waktu senggang. Sepak bola di zaman ini sudah pula berarti bisnis; gengsi; entertainment; dlsb.

Kecuali mereka yang memang tidak suka dan tidak paham sepak bola, kiranya tak ada lagi orang yang merasa geli melihat 22 orang dewasa berlari-lari berebut bola untuk ditendang kembali setelah berhasil merebutnya. Sedangkan melihat mereka yang membahas, mengkalkulasi, menyeminarkan, bahkan mendirikan sekolah untuk itu pun, rasanya tak ada yang merasa aneh dan geli.

Tapi itulah hidup. Hidup tak lebih dari permainan, seperti permainan sepak bola itu. Orang berlari-lari, berebut sesuatu yang sepele untuk kemudian dilepas dan dikejar-kejar lagi. Mereka yang mengejar dan berebut harta misalnya, setelah berhasil mendapatkannya, ada yang dilepas secara sukarela, ada terpaksa dilepaskannya. Demikian pula mereka yang mengejar dan berebut kursi atau kekuasaan.
Untuk merebut, kalau perlu menyikut, menendang, dan menginjak saudara sendiri. Yang gede menggunakan ke-gede-annya; yang mempunyai kepintaran menggunakan kepintarannya; yang kuat memanfaatkan kekuatannya; dan sebagainya dan seterusnya. Karena itu, sebagaimana dalam permainan sepak bola juga, aturan dan ketaatan terhadap aturan permainanlah yang paling menentukan enak atau tidaknya permainan itu dimainkan dan ditonton. Sebaliknya ke-tiadaan-aturan atau ketiadaan ketaatan terhadap aturan-lah yang membuat rusak permainan. Apalagi apabila penyelenggara dan pimpinan permainan sendiri sudah tidak mempunyai itikad untuk menegakkan aturannya.

sumber: gusmus.net